Selasa, 17 April 2012

MANUSIA DAN KEADILAN

·        PENGERTIAN KEADILAN
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
Keadilan oleh Plato diproteksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal.


·        KEADILAN SOSIAL
Berbicara tentang keadilan, anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur.” Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1.     Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasanan kekeluargaan dan kegotonroyongan.
2.     Sikap adil terhadap sesama, menjada keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3.     Sikap suka memberi pertolongan orang yang memerlukan.
4.     Sikap suka bekerja keras.
5.     Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Keadilan dan Ketidak-adilan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia karena dalam hidupnya manusia menghadapi keadilan/ketidak-adilan setiap hari. Oleh sebab itu keadilan dan ketidak-adilan, menimbulkan daya kreativitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel, musik, dan lain-lain.
(Sumber :http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ilmu_budaya_dasar/bab7-manusia_dan_keadilan.pdf)


·        ARTIKEL TERKAIT




Seorang nenek tua renta miskin yang bekerja membanting tulang untuk kehidupannya sehari-hari, harus terseret ke meja hijau hanya karena 3 biji kakao yang hanya berharga Rp 2000? Huh, sungguh ironis kasus yang menimpa nenek Minah.
          Memang perbuatan yang dilakukan nenek Minah termasuk tindakan yang melanggar hukum, karena telah mencuri 3 biji kakao. Tetapi walaupun nenek Minah bertindak salah, kasus ini semestinya tidak lah harus sampai ke meja pengadilan. Seharusnya cukup diselesaikan secara musyawarah / mediasi antara nenek Minah dengan PT RSA. Nyatanya 3 biji kakao itu sudah di kembalikan oleh nenek Minah dan nenek Minah secara langsung sudah meminta maaf kepada pihak perusahaannya.
Saya tidak mengerti, maksud dari pengadilan, dan pihak pabrik menyeret masalah ini sampai ke meja pengadilan itu untuk apa? Apakah untuk membuat rakyat miskin lebih menderita? Atau untuk memberi contoh kepada masyarakat luas kalau semua tindakan itu ada hukumnya? Kalau memang itu tujuan mereka, bagaimana dengan para koruptor yang telah mencuri uang rakyat secara milyaran bahkan triliunan, apakah mereka masuk penjara? Apakah hukum Indonesia bisa menyentuh mereka? Dimana sebenarnya letak “keadilan” di bangsa Indonesia ini? Apakah “keadilan” di Indonesia bisa dibeli dengan uang?
Inilah wajah hukum di Indonesia. Coba kita tengok kasus Bank Century, sampai sekarang kasus ini belum selesai. Padahal Bank Century telah merugikan negara sebesar 6,7 triliun, tapi kenapa penanganan kasus ini malah lebih lama dibanding dengan kasus yang bahkan tidak merugikan negara, seperti kasusnya nenek Minah? Apakah para koruptor “sangat kuat” sehingga tidak bisa disentuh oleh hukum? Nyatanya hukuman seorang koruptor yang telah mencuri uang berjuta-juta rupiah tidak lebih berat dibanding dengan seorang maling ayam.
Seakan-akan sekarang keadilan tidak memikirkan lagi yang mana yang benar dan yang mana yang salah, tetapi memihak pada mereka yang berkuasa, yang kuat dalam hal materi. Keadaan ini tidaklah benar, sudah sangat melenceng jauh dari pancasila, khususnya sila kelima yang menjunjung keadilan sosial. Dalam pancasila semua orang dipandang sederajat dimata hukum, tidak peduli kedudukannya dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar